Senin, 02 Juli 2012

Temanggung dalam Enam Periode

Zaman datang dan pergi. Kuntowijoyo, sejarawan terkemuka dari UGM, pernah membuat kerangka historiografi Indonesia ke dalam empat periode besar : zaman pra-kolonial, zaman kolonial, zaman nasional, dan zaman pasca-nasional. Dengan mengacu pada kerangka itu, kita juga bisa melihat kemungkinan bahwa sejarah lokal Temanggung bisa dibagi ke dalam enam periode sejarah, pada rentang abad 8 hingga abad 21 saat ini.
Namun, penting dicatat, bahwa Temanggung sebagai unit historiografi tidak harus dilihat sebagai aktor pusat sejarah. Pasalnya, dalam hampir semua periode itu, wilayah lereng Sumbing-Sindoro ini hanya merupakan daerah yang menerima pengaruh pergeseran sejarah. Bahkan, nama Temanggung sendiri baru muncul dalam periode ketiga, di zaman kolonial, persisnya tahun 1834.
Adapun pembabakan itu bisa dimulai dari babak pertama yakni periode klasik yang meliputi zaman Kalingga dengan tokoh legendarisnya Ratu Shima hingga kekuasaan wangsa-wangsa Sanjaya dan Sailendra yang membangun membangun monumen-monumen besar seperti candi Dieng, Borobudur, dan Prambanan.
Dalam versi babat, Wangsa Sanjaya lahir dari perkawinan antara Kalingga dan Galuh, kerajaan yang merupakan pelanjut dari Dinasti Tarumanegara di Jawa Barat yang bercorak Hindu-Budha pada abad ke-5 hingga abad ke-8.
Dinasti Sanjaya meninggalkan jejak sejarah dalam bentuk beberapa prasasti. Yang tertua adalah prasasti batu Canggal, di Gunung Wukir, Magelang, bertahun 732. Wangsa Sanjaya yang menganut Hindu Syiwa tumbuh bersamaan, dan saling bersaing, dengan dinasti Sailendra, yang menganut Buddha Mahayana dan sempat membangun Candi Borobudur pada tahun 780.
Perkawinan antara seorang pangeran trah Sanjaya, Rakai Pikatan, yang kemudiaan muncul sebagai penguasa dari dinasti ini, dengan seorang Pramodhawardhani, putri dari dinasti Sailendra, menyebabkan pengaruh Hindu menguat kembali di Jawa Tengah. Walhasil, berdirilah Candi Prambanan yang bercorak Hindu pada tahun 856. Namun, Rakai Pikatan ini pula yang menyerang Dinasti Syailendra dan memaksanya hijrah ke Palembang. Wangsa Sanjaya menjadi penguasa tunggal di Jawa Tengah.
Mengapa Mataram Kuno ambruk? Analisis sementara menyebutkan bahwa ini terjadi akibat suatu peristiwa “pralaya” ketika Merapi meletus hingga mengubur kedua candi besar Buddha dan Hindu, dan menghambat aliran Sungai Progo.
Peristiwa itu masih diperdebatkan kapan terjadinya, ada yang mengatakan pada abad ke-9 dan 10, atau sudah masuk abad 11, persisnya tahun 1006, atau 1017. Prasasti Pucangan menyebutkan bahwa pralaya Jawa kuno itu terjadi secara berentetan dengan serangan Raja Wurawari. Sejak itu Mataram Kuno punah dan para elitnya pindah ke Kediri, Jawa Timur.
Kedua, periode pra-kolonial, meliputi periode waktu ketika terjadi perpindahan pusat kekuasaan politik dan kultural dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, munculnya Kadiri, Singosari, Majapahit, dan bangkitnya Demak, antara abad ke-11 hingga awal abad 16. Sangat sulit menemukan jejak-jejak peninggalan sejarah Temanggung dari periode ini karena pusat penulisan sejarah pra-kolonial memang lebih terfokus ke Jawa Timur. Alhasil, sejarah Temanggung dari periode ini hanya menjadi bagian marginal dari sejarah pusat-pusat kerajaan Hindu Jawa Timuran itu.
Ketiga, periode kolonial, mulai dari jatuhnya Demak, munculnya Mataram (baru), perpecahannya, dan makin kuatnya kekuasaan kolonialisme Belanda untuk menjadikan wilayah Kedu sebagai lumbung pangan dan basis ekonomi perkebunan.
Periode ini berlangsung antara abad ke-16 hingga menjelang abad ke-20. Bahan dokumenter untuk periode ini sudah cukup banyak dan bervariasi. Dalam periode ini Temanggung menjadi tanah koloni dari dua jenis penjajahan: penjajahan feodalisme Jawa dan penjajahahan kolonialisme Belanda.
Keempat, adalah periode nasional, sejak awal abad ke-20 hingga menjelang munculnya Orde Baru. Dalam periode ini, Temanggung dilihat sebagai bagian dari sejarah perlawanan-perlawanan lokal dalam rangka gerakan kemerdekaan nasional.
Segera setelah kemerdekaan tercapai, kekuatan-kekuatan politik kepartaian mulai muncul, dan divergensi politik juga terjadi di tingkat lokal. Temanggung adalah wilayah sejarah yang unik karena menjadi basis PKI terkuat di Jawa Tengah, di tengah-tengah lautan massa Islam tradisional yang juga berakar kokoh.
Ini adalah fakta sosio-historis yang penting yang bisa melandasi seluruh analisis berikutnya mengenai sosiologi-politik dan budaya-politik di masa-masa kemudian. Dinamika Temanggung dari periode ini merupakan bagian dari dinamika politik nasional yang penting ketika kekuatan-kekuatan politik, aliran-aliran ideologis, dan percaturan budaya-politik sedang mencari formatnya, meskipun akhirnya tak pernah selesai karena munculnya kekuatan-kekuatan sejarah berikutnya.
Kekuatan-kekuatan sejarah baru itu muncul pada periode kelima, yaitu periode pasca-nasional, yakni ketika di bawah Orde Baru, pada kenyataannya Temanggung dan daerah-daerah lainnya di seluruh penjuru Indonesia hanya menjadi bagian dari penjajahan ekonomi kapitalisme global, juga otoritarianisme militer. Bahan untuk periode berlimpah ruah, meskipun tentang Temanggungnya sendiri masih parsial-parsial.
Keenam, periode kontemporer, berlangsung sejak tumbangnya Orde Baru hingga sekarang. Masih berada dalam arus globalisasi neoliberalisme, tapi suasana dan dinamika lokal Temanggung sudah jauh lebih demokratis, dan lebih terbuka bagi munculnya gerakan-gerakan lokal baru.
Demikianlah enam periode sejarah lokal Temanggung. Jika lima periode pertama sudah berlalu, maka periode terakhir sesungguhnya masih berlangsung hingga sekarang. Ada adagium yang menyebutkan bahwa sejarah adalah politik di masa lalu, sementara politik adalah sejarah di masa kini.
Dalam periode terakhir, periode kontemporer, peristiwa-peristiwa politik harus dicermati sebagai elemen-elemen yang akan berpengaruh pada pembentukan sejarah di masa depan.
(AE Priyono. Peneliti Reform Institute Jakarta. Pengurus Perkumpulan Independen Komunitas Temanggungan(PIKATAN), Temanggung)

Tidak ada komentar:

perubahan menuju hal-hal yang positiv  https://youtu.be/duGy3x0Zsx0